Jangan Jadikan Kubur Nabi Sebagai Sesembahan
Pengagungan yang Melebihi Batas
Masih banyak kita jumpai kaum muslimin yang bersikap berlebih-lebihan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengagungkan Nabi dengan melebihi batas, sampai-sampai mengangkatnya kepada derajat sejajar dengan Allah Ta’ala, yang memiliki sifat-sifat rububiyyah seperti mencipta, mengurus makhluk, mendatangkan manfaat dan menolak mudharat. Sehingga mereka pun banyak yang menujukan doa dan permohonan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara mereka ada yang membuat syair, “Semoga keberkahan dan keselamatan dilimpahkan untukmu wahai Rasulullah. Telah sempit tipu dayaku, maka perkenankanlah (hajatku) wahai kekasih Allah.” Inilah bukti keberhasilan setan dalam menggelincirkan manusia dari jalan tauhid yang lurus. Demikianlah sikap berlebih-lebihan mereka, sehingga banyak di antara kaum muslimin yang menjadikan kubur Nabi sebagai sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka berdoa dan melakukan berbagai macam aktivitas ibadah di dekatnya.
Makna “Muhammad Rasulullah”
Beriman bahwasanya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai utusan Allah Ta’ala, adalah dengan membenarkan berita yang beliau sampaikan, menaati apa yang beliau perintahkan, meninggalkan apa yang beliau larang, dan menyembah Allah Ta’ala dengan apa yang beliau syariatkan. Keempat hal itulah yang merupakan bukti kecintaan dan ketaatan kita kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak sebagaimana kaum Nashrani yang berlebih-lebihan dalam menyanjung Isa ‘alaihissalaam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ، فَقُوْلُوْا: عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلِهِ
”Janganlah kaliah berlebih-lebihan memuji (menyanjung) diriku sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan memuji Ibnu Maryam (Nabi Isa). Sesungguhnya aku adalah hamba, maka katakanlah,’Hamba Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari no. 3445).
Maksud berlebih-lebihan dalam memuji adalah tidak menyembah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana orang-orang Nasrani menyembah Isa Ibnu Maryam ‘alaihis salaam sampai terjerumus kepada kesyirikan. Rasulullah tidak memiliki kekuasaan sedikit pun untuk mendatangkan manfaat dan menolak mudharat serta tidak pula mengetahui hal yang ghaib. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
”Katakanlah, ‘Aku tidak berkuasa menarik (mendatangkan) manfaat bagi diriku dan tidak (pula) menolak mudharat kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebaikan sebanyak-banyaknya, dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan membawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman” (QS. Al A’raaf [7]: 188).
Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk mengatakan, “Muhammad hamba Allah dan Rasul-Nya.” “Hamba Allah” maksudnya, bahwa kita tidak boleh berlebih-lebihan terhadap beliau, karena beliau adalah hamba dan bukan Rabb (Tuhan). “Rasul-Nya” maksudnya, bahwa beliau adalah hamba yang paling mulia yang Allah Ta’ala pilih sebagai utusannya dan tidak boleh kita dustakan.
Larangan Menjadikan Kubur Nabi sebagai Masjid (baca: tempat beribadah)
Meskipun sudah sedemikian jelas dan gamblang bukti-bukti kebenaran tauhid dan kebatilan syirik, namun banyak di antara kaum muslimin yang melalaikannya dan meremehkannya dengan wujud tidak mau mempelajarinya. Sehingga setan dengan mudah menyesatkan dan mencampakkan mereka ke dalam lembah kesyirikan. Dan di antara sebab terpenting merasuknya kesyirikan ke dalam diri seseorang adalah sikap berlebih-lebihan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang shalih lainnya. Mereka menganggap bahwa Nabi adalah adalah makhluk yang paling mulia di sisi Allah Ta’ala, bahkan memiliki kedudukan yang sejajar dengan Allah Ta’ala sehinga boleh menujukan berbagai macam ibadah dan doa kepadanya. Oleh karena itu, mereka pun menjadikan kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sesembahan selain Allah Ta’ala. Padahal, terdapat begitu banyak dalil yang menunjukkan keharamannya.
Dalam sebuah hadits dikatakan,
لَعَنَ اللَّهُ اليَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ» ، لَوْلاَ ذَلِكَ أُبْرِزَ قَبْرُهُ غَيْرَ أَنَّهُ خَشِيَ – أَوْ خُشِيَ – أَنَّ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا
”Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kubur Nabi mereka sebagai masjid, (Aisyah berkata), ‘Kalau bukan karena hal itu, niscaya kubur beliau akan dinampakkan, hanya saja beliau takut atau ditakutkan kuburnya akan dijadikan masjid’” (HR. Bukhari no. 1390, 4441 dan Muslim no. 529).
Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lima hari sebelum wafat,
ألا وإن من كان قبلكم كانوا يتخذون قبور أنبيائهم وصالحيهم مساجد ألا فلا تتخذوا القبور مساجد إني أنهاكم عن ذلك
”Dan ketahuilah, bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kamu telah menjadikan kubur nabi-nabi dan orang-orang shalih di antara mereka sebagai masjid (tempat ibadah). Tetapi janganlah kamu sekalian menjadikan kubur sebagai tempat ibadah, karena aku benar-benar melarang kamu dari perbuatan itu.” [HR. Ibnu Abi Syaibah. Syaikh Albani berkata,”Sanadnya shahih sesuai syarat Muslim” (Tahdziirus Saajid, hal. 22).
Demikianlah sikap Nabi yang sangat keras dalam melarang umatnya untuk menjadikan kubur Nabi sebagai tempat ibadah meskipun ibadah tersebut ikhlas ditujukan kepada Allah Ta’ala. Kalau menjadikan kubur Nabi sebagai tempat ibadah kepada Allah Ta’ala saja sudah dilaknat, lalu bagaimana lagi jika ibadah tersebut ditujukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa kepada Allah karena sangat mengkhawatirkan kuburnya akan dijadikan sebagai sesembahan selain Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اللهم لا تجعل قبري وثنا لعن الله قوما اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد
”Ya Allah! Janganlah Engkau jadikan kuburku sebagai berhala (yang disembah). Allah melaknat orang-orang yang menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai temnpat ibadah” (HR. Ahmad no. 7358. Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Tahdziirus Saajid, hal. 25).
Dan bukti bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menekankan hal ini adalah inilah yang Rasulullah wasiatkan menjelang beliau wafat. Dan tidaklah seseorang berwasiat tentang sesuatu hal, kecuali hal tersebut adalah perkara yang sangat penting dan harus diperhatikan. Aisyah dan Ibnu Abbas radhiyallohu ‘anhuma berkata, “Tatkala Nabi menjelang wafat, beliau menutupkan kain ke wajahnya, lalu beliau buka lagi kain itu tatkala terasa menyesakkan nafas. Ketika beliau dalam keadaan itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى اليَهُودِ وَالنَّصَارَى، اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
’Semoga laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah” (HR. Bukhari no. 435, 3453, 4443, 5815 dan Muslim no. 531).
Nabi menyampaikan larangan lima hari sebelum wafat dan menyampaikan berita laknat Allah ketika hendak wafat. Ini adalah bukti bahwa hal itu sangat diperhatikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau sangat khawatir umatnya akan meniru perbuatan Yahudi dan Nasrani tersebut. Namun tampaknya banyak dari umat ini yang tidak menggubris keprihatinan beliau.
Bagaimana Mewujudkan Cinta Kepada Nabi?
Sesungguhnya wujud cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berupa ketaatan kepadanya, yang diekspresikan dalam bentuk berdoa (memohon) kepada Allah Ta’ala semata dan tidak berdoa kepada selain-Nya, meskipun ia seorang Rasul atau wali yang dekat di sisi Allah Ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
”Apabila engkau meminta, maka mintalah kepada Allah dan apabila engkau memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada Allah” (HR. Tirmidzi no. 2516. Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani).
Dan apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dirundung duka cita, maka beliau membaca doa,
يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ
”Wahai Dzat yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan” (HR. Tirmidzi no. 3524. Dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani).
***
Disempurnakan pada pagi hari, Rotterdam NL 25 Rajab 1438/22 April 2017
Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id
🔍 Kultum Tentang Orang Tua, Perjalanan Manusia Setelah Mati, Adab Diatas Ilmu, Puasa Sya`ban 2019, Amalan Tolak Bala
Artikel asli: https://muslim.or.id/29977-jangan-jadikan-kubur-nabi-sebagai-sesembahan.html